Sore ini ku duduk di depan Televisi bersama dengan Putraku yang Lucu, Tangguh namanya, usianya 3,5 tahun, ku ubah channel demi channel TV yang ada, dalam hatiku, Indahnya teknologi segalanya serba pilihan-pilihan, namun entah mengapa lagi2 setiap channel TV menyajikan hal2 yang setidaknya “cukup” menarik. Menarik karena semua channel TV menyajikan hal yang sama sore ini.. Ku ajak putraku Tangguh menonton bersama, di sela keseriusanku menyaksikan TV, tiba-tiba Putraku bertanya”
“Ayah..mereka itu sedang apa”? O..itu wakil rakyat Putraku, “Wakil rakyat itu apa ayah? “ “Hmm, Wakil rakyat orang yang mewakili rakyat, suaranya adalah suara rakyat, dan mereka bersatu untuk rakyat, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau golongannya anakku”.. “Wah ayah, aku ingin menjadi wakil rakyat kelak, “oo boleh Putraku, itu adalah mulia”.
Tiba-tiba wakil rakyat di dalam tayangan televisi yang tadinya tenang mendadak berubah menjadi Huru hara.. “ lho ayah.. ada apa dengan wakil rakyat itu ayah?”. “Kenapa mereka saling pukul dan saling menunjuk?.. “Oo tidak apa-apa anak Ku, itu wujud kasih sayang mereka, itulah demokrasi kita, kamu hafal sila Ke empat Pancasila Anakku?” Aku hafal ayah..” coba bunyikan dengan lantang untuk Ayah”.. “Empat..kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan..Nah aku hafal kan ayah?” ,”hebat.. itu baru anak ayah, nah itu artinya, yang mereka lakukan di gedung itu sesuai dengan sila ke empat pancasila anakku, itu adalah bentuk musyawarah , Itu tanda sayang mereka, kerjasama mereka, dan itulah tanda persatuan mereka yakni dengan saling menunjuk dan berteriak lantang”,.. Mudah2an kamu belajar banyak dari tayangan ini ya Nak” ..
Tiba-tiba gambar di televisi berubah latar, kejadian terjadi diluar gedung wakil rakyat , tidak kalah serunya.. huru hara yang lebih dasyat lagi.. lagi2 putra ku bertanya… “Ayah itu apa lagi?” Oo tidak apa2 anakku, itu salah satu bentuk menyalurkan pendapat, “Tapi ayah kenapa mereka melempar sesuatu?”, lhoo itu ayah ada yang berdarah terkena batu”.. “Oo tidak apa2 anakku, itu cara mereka berkomunikasi. Itulah bentuk demokrasi kita anakku”.. mereka hanya sedang bercakap-cakap dengan mesra”.. jadi Banggalah anakku, karna bangsa kita berbudaya, nah itulah “Budaya” kita”.. ”Oya ,.ayah ingin dengar lagu Indonesia Raya yang biasa kamu nyanyikan di sekolah anakku, mungkin kamu sekarang sudah hafal”.. Pasti Ayah aku sudah hafal ..aku nyanyikan untuk Ayah”
Sambil menghormat ia bernyanyi :
Indonesia Tanah Airku Tanah Tumpah Darahku
Disanalah Aku Berdiri jadi Pandu Ibuku
Indonesia Kebangsaanku Bangsa Dan Tanah Airku
Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu
Hiduplah Tanahku Hiduplah Negriku
Bangsaku Rakyatku Semuanya
Bangunlah jiwanya Bangunlah Badannya, untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka Merdeka Tanahku Negriku yang Kucinta
Indonesia Raya Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya
Belum sampai lagu ini selesai hatiku sudah menangis, kupotong lagu tersebut.. “cukup anakku, cukup.. jangan kau lanjutkan” ..”Kenapa ayah aku belum selesai menyanyikannya?,” Tidak apa2 anakku, nanti kau boleh melanjutkannya lagi. Aku hanya bisa menerawang dan berkata dalam hati sambil menatap matanya yang polos dan bertanya-tanya (“ Inilah yang diwariskan Bangsa Kita Nak, dari generasi ke generasi, Persatuan adalah Slogan, Perbedaan pendapat adalah Tawuran, Musyawarah adalah kemunafikan, tersenyum bila didepan, tertawa bila di belakang, Terlalu banyak kebohongan yang Kita lakukan. Dan kau belajar banyak dari sana Nak, karena ku tahu kau tidak dapat mencegahnya.. Inilah bangsa kita Anakku. Berbanggalah, suatu hari nanti kau akan lebih Tahu.. mana yang terbaik untuk Dirimu dan Bangsamu., dan Ayah yakin lagu Indonesia Raya akan berkumandang dengan Lebih Gagah, lebih lantang, tanpa ada Kepalsuan-kepalsuan, Semua masih ada Harapan. Segalanya berada di Pundakmu”).
"for the resurrection of our nationalism"
MAHAR K RESTU
02/03/2010
23.50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar