Senin, 22 November 2010

PENDIDIKAN GITAR KLASIK DI INDONESIA

SEKILAS TENTANG PERKEMBANGAN AWAL PENDIDIKAN GITAR KLASIK DI INDONESIA

oleh Andre Indrawan
Introduksi

Di sekitar tahun 70-an minat terhadap gitar kasik di Indonesia sempat meledak. Dalam waktu yang relatif singkat jumlah peserta kursus gitar melonjak drastis dan sekolah-sekolah musik swasta yang mengakomodasi para peminat gitar menjamur di mana-mana. Kondisi pergitaran di Indonesia yang mendadak sehat ini telah mengundang perhatian dunia gitar internasional yang dibuktikan dengan digelarnya konser-konser gitaris dunia di Indonesia dan datangnya bantuan-bantuan pendidikan dan material dari negara-negara berkembang seperti Jepang dan Belanda. Perhatian inipun disambut oleh pemerintah Indonesia dengan dibukanya program-program pendidikan gitar secara resmi, mulai dari sekolah-sekolah dan institusi-institusi kejuruan musik hingga perguruan tinggi.

Latar belakang popularitas gitar dalam masyarakat Indonesia

Minat yang besar pada anak-anak muda Indonesia terhadap gitar dan kepopuleran gitar itu sendiri tentunya tidak semata-mata tumbuh begitu saja. Sebelum dibukanya kursus-kursus gitar pada sekitar tahun 70-an, gitar dan alat-alat musik yang mirip gitar sudah lama digunakan di negeri ini. Gitar telah dikenal sejak lama dalam ensembel Keroncong dan bahkan dalam kesenian tradisional Cirebon, Tarling (kependekan kata dari gitar dan suling), yaitu seni tari yang diiringi oleh duet gitar berukuran standar dan seruling bambu. Kepopuleran gitar di Indonesia juga didukung oleh keberadaan berbagai alat musik lain yang memiliki kemiripan dengan gitar, yang telah lama ada sebelum gitar masuk ke Indonesia. Alat musik tersebut di antaranya ialah gitar tradisional berdawai tiga yang disebut Sampek dari Kalimatan Timur, dan beragam model gitar tradisional berukuran kecil yang berdawai dua yaitu Hasapi, Kulcapi, dan Husapi, dari Sumatra Utara.

Di samping itu gitar juga telah turut berjasa membangkitkan semangat rakyat dalam memperjuangkan cita-cita keagungan bangsa Indonesia. Hal tersebut terjadi pada penyelenggaraan Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dimana gitar digunakan sebagai instrumen pengiring dalam pengumandangan perdana lagu himne nasional “Indonesia Raya”.

Gitar adalah alat musik yang populer dan benar-benar telah merakyat terutama di kalangan para remaja dan pemuda kita. Maka bukanlah hal yang asing jika kita melancong ke daerah-daerah di indonesia, seperti Maluku, Timor dan Batak, kita akan mendengar dentingan gitar mengiringi kelompok anak-anak muda yang sedang menyanyikan lagu-lagu rakyat. Latar belakang sejarah inilah tampaknya yang merupakan salah satu aspek yang telah menyebabkan adanya keberanian pada para investor asing untuk menanamkan modalnya dalam sektor musik khususnya gitar, serta sambutan hangat dari masyarakat ketika pendidikan gitar ditawarkan.

Kehidupan pergitaran di Indonesia di sekitar tahun 70-an

Berdirinya sekolah-sekolah musik swasta pada sekitar tahun 70-an sangat membantu penyebaran minat bermain gitar di Indonesia. Buah dari menjamurnya kursus-kursus musik tersebut adalah suatu peningkatan yang subur dan drastis jumlah para amatir, diletan dan gitaris-gitaris muda berbakat. Minat masyarakat yang senantiasa meningkat terhadap pendidikan gitar telah mendorong didirikannya lebih banyak lagi sekolah-sekolah musik baru. Di samping itu bermacam-macam metode pengajaran dari produk luar negeripun telah ditawarkan. Hal ini telah menantang para ahli pendidikan musik yang berspesialisasi gitar untuk memikirkan dan menyusun suatu metode pengajaran gitar yang paling cocok untuk masyarakat Indonesia.

Peranan para amatir dan diletan dalam pengembangan kehidupan musik gitar di negara kita cukup besar. Hal ini didukung dengan selalu bertambahnya pendukung gitar yang di antaranya terdiri dari para amatir yang mempelajari gitar tanpa mendalaminya. Walaupun di antara mereka tidak selalu bisa memainkan musik pada tingkat kesulitan menengah sekalipun, namun minat dan perhatiannya terhadap gitar amat besar. Di samping telah menjadi audiens terbaik, tidak sedikit di antara mereka yang telah rela mengorbankan sebagian dari kekayaan materilnya untuk perkembangan musik gitar. Kondisi seperti ini telah sangat membantu para pendidik gitar dalam merealisasikan cita-cita mereka yaitu membangun suatu kehidupan musik yang sehat.

Menjelang permulaan tahun 1980, Indonesia telah memiliki gitaris-gitaris profesional yang cukup diperhitungkan. Di antara mereka ialah Carl Tangyong yang pernah belajar di Roma, Itali, dan Rully Budiono, seorang lulusan program diploma sebuah konservatori musik di Wina, Austria. Produksi musikal mereka terdiri dari dari konser-konser di kota-kota besar dan rekaman-rekaman kaset. Produktivitas mereka, di samping telah membangkitkan semangat para amatir dan diletan, juga telah menumbuhkan apresiasi yang baik dan kepercayaan dari para pencinta gitar atas kemampuan bermusik bangsa Indonesia.

Sebagai salah satu reaksi internasional dari perkembangan gitar yang sehat ini adalah didatangkannya gitaris-gitaris berkaliber dunia seperti Julian Bizantine, David Russell dan John Mills dari Kerajaan Inggris, Jean Piere Jumez dari Perancis, dan Sigfried Behrend dari Jerman, untuk memberikan resital-resital dan workshop-workshop bagi masyarakat pergitaran kita. Tanggapan mereka yang sangat positif terhadap perkembangan gitar di tanah air telah menimbulkan pengaruh yang amat besar terhadap perkembangan dunia pergitaran Indonesia. Tidaklah heran jika dalam waktu yang singkat gitaris-gitaris muda Indonesia mulai dikenal melalui prestasinya dalam kompetisi-kompetisi internasional di kawasan Asia Tenggara.

Peranan gitaris-gitaris muda Indonesia dalam forum internasional

Di Asia Tenggara seni pertunjukan gitar klasik sudah lama berkembang. Walaupun dapat dikatakan bahwa di antara negara-negara tetangganya keberadaan gitar klasik di Indonesia masih sangat muda, namun dalam tempo yang relatif singkat gitaris-gitaris muda Indonesia telah mampu menunjukkan kebolehan kualitasnya di kawasan ini. Perkembangan gitar di Indonesia dan gebrakan aksi gitaris-gitaris muda kita dalam forum internasional seperti kompetisi gitar se-Asia Tenggara pada tahun 1977-79 telah memacu perkembangan gitar di kawasan ini.

Guna meningkatkan kehidupan pergitaran di kawasan Asia Tenggara, beberapa sekolah musik di Indonesia dan beberapa negara tetangganya yang tergabung dalam suatu sistem pendidikan musik Yamaha, sepakat untuk menyelenggarakan suatu forum pertemuan antar gitaris se-Asia Tenggara. Sebagai tindak lanjutnya maka atas sponsor dari Yamaha Music Foundation, Tokyo, pada tahun 1977 telah diselenggarakan The 1st South East Asian Guitar Festival (SEAGF 1977) yang merupakan kompetisi gitar pertama di kawasan Asia Tenggara. Kompetisi tersebut mengambil tempat di Hotel Hilton, Jakarta. Pesertanya terdiri dari masing-masing dua gitaris untuk wakil setiap negara yang terdiri dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan, Philipine, dan Hongkong. Kompetisi tersebut dibagi ke dalam dua kategori yaitu bagian klasik dan non-klasik. Untuk bagian non-klasik peserta membawakan karya-karya non klasik baik dengan media gitar klasik maupun jenis-jenis gitar akustik non-elektrik lainnya.

Dari pengalaman penulis yang ketika itu juga berpartisipasi sebagai peserta babak final pada kompetisi tersebut, dapat diperoleh suatu gambaran nyata bahwa gitaris-gitaris Indonesia umumnya memiliki tingkat ketrampilan dan musikalitas yang relatif lebih tinggi dibanding gitaris-gitaris unggulan negara-negara lain. Demikian pula dengan repertoar pilihan yang kami bawakan, jauh berada diatas para lain. Oleh karena itu tidak heran jika Juara pertama, baik pada saat itu maupun pada penyelenggaraan tahun-tahun berikutnya, umumnya jatuh pada peserta Indonesia. Juara untuk kategori klasik pada saat itu ialah Linda Sukamta, gitaris putri dari Bandung, sedangkan untuk non-klasik dimenangkan oleh Michael Gan dari Jakarta.

Pada penyelenggaraan kedua SEAGF 1978, kembali penulis berhasil masuk ke babak final yang waktu itu diselenggarakan di Bangkok, Thailand. Kali ini penulis berhasil mengharumkan nama Indonesia dengan memenangkan juara pertama untuk kategori klasik dalam kompetisi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam dua kompetisi terakhir SEAGF Indonesia unggul dalam kategori klasik. Bahkan tidak cukup hanya sampai di situ, pada putaran SEAGF dua tahun berikutnya di Singapura, nama Indonesia kembali harum di kawasan Asia Tenggara dengan berhasilnya gitaris muda kita, Royke B. Koapaha dari Bandung, sebagai juara pertama.

Pelajaran penting yang dapat kita petik dari kompetisi SEAGF

Dalam rangkaian acara SEAGF 1978 penulis sempat memancing informasi tentang perkembangan pendidikan gitar di negara-negara lain melalui para peserta dan anggota delegasi yang mendampingi mereka. Umumnya metode pengajaran yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan kita. Kelebihan mereka umumnya terletak pada fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan didukung komunikasi yang terbuka dengan dunia pergitaran internasional. Fasilitas peserta negara lain yang sangat mendukung penampilan mereka ialah digunakannya gitar-gitar impor bermerek yang berkualitas hand made dari Eropa dan Jepang. Pada saat itu penulis sendiri menggunakan gitar buatan Inggris namun kualitasnya masih berada di bawah gitar-gitar mereka.

Dari kedua penyelenggaraan SEAGF yang pernah penulis ikuti, terdapat catatan penting yang di antaranya ialah standar repertoar pilihan para peserta rata-rata seimbang. Yang menarik ialah bahwa pilihan repertoar yang mereka bawakan umumnya sesuai dengan ijazah grade yang mereka peroleh sementara umumnya peserta Indonesia memainkan karya-karya pada tingkat tertinggi walaupun secara resmi baru memiliki ijazah grade yang rendah. Memainkan karya yang terlalu jauh di atas ijazah grade yang dimiliki tentu saja merupakan perkecualian dan bukan merupakan contoh yang perlu diteladani dalam proses pendidikan musik yang baik. Walaupun demikian dalam suatu kompetisi apapun (musik maupun bela diri, misalnya) kepemilikan ijazah tingkat pendidikan umumnya tidak pernah menjadi bahan pertimbangan.

Kecuali para peserta dari Indonesia yang sebagian besar adalah murid-murid, peserta untuk kategori klasik dari negara lain pada kedua kompetisi tersebut umumnya terdiri dari guru-guru gitar profesional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bukanlah hal yang mudah bagi guru gitar untuk menghasilkan muri-murid yang handal sehingga guru sendiri terpaksa perlu turun tangan dalam kompetisi.

Dalam dunia pendidikan musik siswa yang serius umumnya diarahkan kepada salah satu dari dua jalur profesi yaitu untuk menjadi penyaji musik (artis) atau guru. Oleh karena itu, sesuai dengan bakatnya seorang murid gitar yang serius perlu memikirkan pilihan masa depan profesinya sejak pertengahan masa studinya. Hal utama yang perlu dipertimbangkan ialah bahwa kesempatan berlatih seorang guru umumnya lebih sedikit dibandingkan seorang penyaji musik. Sehubungan dengan itu jarang sekali terjadi seorang guru merangkap sebagai penyaji musik. Walaupu demikian peranan pendidik-pendidik musik yang profesional sangat besar dalam pembangunan kehidupan musik yang sehat. Oleh karena itu keberadaan mereka masih amat dibutuhkan di negara kita.

Titik tolak pendidikan gitar klasik di Indonesia

Dapat dikatakan bahwa tahun 70-an merupakan titik tolak pengembangan pendidikan gitar klasik di Indonesia. Gejala ini ditandai dengan (1) meningkatnya pelayanan minat masyarakat dalam mempelajari gitar melalui lembaga-lembaga kursus musik swasta yang disponsori perusahaan-perusahaan Jepang; (2) datangnya bantuan resmi pemerintah Belanda dalam membina calon-calon guru gitar melalui program intensif yang dikelola pemerintah di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya; dan (3) dibukanya bidang studi praktek gitar pada jenjang perguruan tinggi.

Hingga pertengahan tahun 70-an sudah terdapat banyak sekolah musik swasta yang menyediakan kursus gitar, baik di kota-kota besar maupun kecil di wilayah Indonesia bagian Barat. Berbagai macam teknik dan metode praktis ditawarkan dengan tujuan dasar yang sama yaitu memperkenalkan suatu cara bermain gitar yang lebih dari sekedar memainkan akor-akor pengiring nyanyian. Teknik bermain gitar klasik diperkenalkan melaui pendekatan-pendekatan yang mudah dan menyenangkan dengan melibatkan dasar-dasar umum permainan gitar. Gaya pengajaran kelas yang santai dan sistem ujian yang menarik dari metode-metode tersebut telah menghasilkan siswa-siswa baru yang dapat menguasai ketrampilan dasar bermain gitar secara komprehensif dalam waktu yang relatif singkat. Sayangnya kurikulum yang ditawarkan kepada siswa masih terbatas hingga tingkat ketrampilan menengah.

Berbeda dengan kursus-kursus swasta lainnya, Yayasan Pendidikan Musik (YPM) di Manggarai, Jakarta, yang saat itu diyakini sebagai sekolah musik termaju di Indonesia, menerapkan suatu metode lain. Sekolah ini mengarahkan agar siswa dapat mengenal musik secara utuh melalui pengajaran teori-teori musik secara terpisah dari tutorial individual praktikum instrumen musik. Kelas gitar pada lembaga ini sudah lama ada sebelum tahun 70-an di bawah koordinasi gitaris Adis Sugata. Walaupun sistem pendidikan musiknya secara umum cukup baik namun dalam pengajaran praktek gitar mereka masih menggunakan metode lama seperti misalnya, Carcassi dan Carulli.

Pendidikan gitar di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan sejak kehadiran sebuah kelompok musik kamar dari Belanda, Dick Visser Guitar Trio, pada tahun 1977. Suatu hal yang menguntungkan bahwa Dick Visser, pimpinan trio tersebut, adalah seorang pejabat dinas kebudayaan di Belanda pada masa itu. Di samping spesialisasinya sebagai komponis gitar, ia juga seorang pendidik gitar senior, profesor dan dekan di Konservatorium Amsterdam, Belanda. Melalui beliaulah telah terjadi suatu jalinan kerja sama di antara pemerintah Belanda dan Indonesia untuk mengembangkan pendidikan gitar klasik di tanah air.

Dick Visser telah menyumbangkan suatu kontribusi yang besar terhadap perkembangan gitar klasik di Belanda. Kontribusi terpentingnya ialah penemuan teknik baru yang merupakan sintesis dari berbagai teknik bermain gitar terdahulu terutama Tarrega dan Pujol yang dikembangkan pada paruh kedua abad ke-19 dan teknik Segovia pada paruh pertama abad ke-20. Penemuannya tersebut telah dituangkan ke dalam suatu paket terbitan yang lengkap dari seluruh teknik permainan gitar klasik dan sejumlah etude serta kumpulan 24 etude yang ditulis pada seluruh tanda kunci mayor dan minor. Ia bahkan telah menerapkan ide tekniknya ke dalam seluruh komposisi kontemporernya dan juga edisi dan transkripsi beberapa karya-karya standar secara konsisten.

Perhatian Dick Visser sangat besar terhadap perkembangan gitar di Indonesia yang dinamis. Beliau sangat berniat untuk membantu perkembangan pendidikan musik dan mensosialisasikan metodenya di Indonesia. Dalam waktu yang tidak lama maka pemerintah Belanda mengirim seorang pedagog gitar berkualifikasi ganda di bidang penyajian (performance) dan pendidikan, Yos Bredie. Guru gitar tersebut adalah lulusan Konservatorium Amsterdam, salah seorang murid terbaik Dick Visser. Beliau dikirim untuk memberikan pelatihan intensif selama satu setengah tahun pada para guru dan calon guru gitar di kota-kota besar pulau Jawa dan Bali. Penataran tersebut diikuti oleh guru-guru gitar dan peminat-peminat lain dalam jumlah terbatas yang diterima melalui audisi atau rekomendasi sekolah musik. Beruntung bahwa penulis yang saat itu masih duduk di bangku SMU dan berstatus sebagai murid gitar, bersama dengan gitaris-gitaris muda lain yang di antaranya ialah Iwan Irawan, Royke B. Koapaha dan Ferry Tambunan dari Bandung, telah diterima sebagai peserta dalam pelatihan tersebut.

Di samping mempelajari dan mempraktekkan teknik Dick Visser yang lebih mengutamakan perkembangan tangan kiri, peserta pelatihan menerima pelajaran-pelajaran teori penunjang lainnya. Pelajaran-pelajaran tersebut di antaranya ialah ilmu sejarah musik, kontrapung, dan harmoni yang diarahkan kepada komposisi dan aransemen untuk gitar. Pelajaran pelengkap lain ialah kelas musik kamar yang menitikberatkan ensembel-ensembel kecil seperti duet, trio, dan kwartet gitar.

Sebagai tindak lanjut dari pelatihan bantuan Belanda yang diselenggarakan oleh pemerintah pada awal tahun 1980, departemen gitar YPM membuka program persiapan konservatori yang diikuti sepuluh siswa dari Bandung dan Jakarta (termasuk penulis). Satu semester sebelumnya, pada tahun 1979 Akademi Musik Indonesia (AMI) di Yogyakarta yang berada di bawah pengelolaan pemerintah, telah lebih dahulu membuka departemen gitar untuk program yang lebih tinggi dari diploma (setingkat D3) yaitu gelar Seniman setingkat Sarjana (setingkat S1). Secara operasional pengajaran praktek gitar dan subjek-subjek terkait pada kedua program tindak lanjut yang dikelola oleh swasta (YPM) dan pemerintah (AMI) tersebut dilaksanakan oleh Yos Bredie karena saat itu belum ada dosen gitar yang dianggap memenuhi persyaratan akademis.

Sayang bahwa program persiapan konservatori di YPM hanya berlangsung selama dua semester saja. Untuk mengantisipasi kesinambungan belajar maka sambil melengkapi studi di YPM pada semester kedua penulis mengambil studi komposisi di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) . Setelah berakhirnya masa studi di YPM (akhir tahun 1980), penulis pindah ke Jurusan Gitar LPKJ selama satu semester dan pada semester berikutnya (pertengahan tahun 1981) melanjutkan ke program gelar di AMI Yogyakarta.

Beberapa tahun sebelum program gitar di AMI dibuka, aktivitas pendidikan tinggi untuk gitar pada telah dilaksanakan di LPKJ. Sistem pendidikannya kurang lebih serupa dengan YPM namun lebih lengkap sebagai suatu pendidikan di sekolah tinggi. Jenjang pendidikan gitar di lembaga ini dikelompokkan ke dalam dua tingkat yaitu Tahap Studi Dasar dan Tahap Studi Akhir. Di bawah asuhan Reiner Wildt, seorang dosen warga Indonesia berdarah Jerman, teknik yang diterapkan pada para mahasiswa gitar pada dasarnya mengacu secara fanatik kepada teknik Segovia dengan perhatian utamapada pengembangan teknik tangan kanan. Suatu kelebihan yang ada pada sisitem pendidikan gitar di lembaga ini ialah perluasan reportoar yang tidak hanya meliputi karya-karya solo dan ensembel gitar tapi juga musik kamar yang melibatkan alat-alat musik lain seperti kombinasi gitar dengan kwartet gesek atau alat-alat orkestra lainnya.

Sejajar dengan program Sarjana (S1), program pendidikan musik di AMI memakan waktu minimal 9 semester. Program studi yang diterapkan pada masa itu ialah: Musik Sekolah (MS), Sastra Musik (SM) dan Teori Komposisi (TK). Kecuali program MS dan TK yang mempersyaratkan Skripsi untuk melengkapi studinya, para mahasiswa SM yang tergolong paling kecil populasinya, dituntut untuk melakukan resital sebagai pengganti skripsi. Karena tertarik dengan pengembangan ketrampilan bermain gitar maka penulis memilih program SM.

Posisi pelajaran gitar pada saat itu ialah sebagai instrumen mayor disamping dua instrumen wajib lainnya yaitu piano komplementer dan instrumen minor pilihan. Mata kuliah terkait lain seperti sejarah gitar, konstruksi gitar dan kelas repertoar gitar diintegrasikan ke dalam mata kuliah Praktek Individual Instrumen Mayor (PIIM). Sementara itu ensembel gitar mendapat wadah tersendiri sebagai alternatif dari mata kuliah Orkes dan Koor.

Penutup

Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan dunia pergitaran Indonesia yang dinamis pada tahun 70-an merupakan merupakan masa awal dan titik tolak perkembangan pendidikan gitar di Indonesia untuk dekade-dekade berikutnya. Salah satu hikmah yang bisa dirasakan hingga paruh pertama tahun 1980-an ialah bahwa dibukanya bidang studi praktek gitar pada jenjang perguruan tinggi telah mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat dalam skala nasional. Hal tersebut terbukti dengan berduyun-duyunnya para lulusan SMA dari berbagai daerah di Indonesia untuk mengikuti studi gitar di AMI sebagai alternatif dari perguruan tinggi umum. Sejak saat itu calon mahasiswa gitar senantiasa menempati jumlah terbanyak dibandingkan dengan instrumen-instrumen lain. Saat itu penulis merasakan betul bahwa pengembangan studi gitar juga merupakan salah satu partisipasi pembangunan dalam mencapai harapan bangsa menuju terbinanya masnusia Indonesia yang berkualitas ilmiah, memiliki rasa estetis yang tinggi, kreatif dan terampil.
Catatan:

Sebagian besar isi tulisan ini berasal dari artikel berjudul: “Sejarah Perkembangan Gitar di Indonesia” yang dipersiapkan oleh penulis pada tahun 1983 sebagai salah satu persyaratan dalam pemilihan Mahasiswa Teladan tingkat nasional. Pada saat itu penulis mewakili Mahasiswa Teladan Akademi Musik Indonesia Yogyakarta dalam rangkaian kegiatan Widya Wisata Mahasiswa Teladan Nasional di Jakarta. Sehubungan dengan hal tersebut setting waktu dan efek dari pendeskripsian peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam artikel ini umumnya tidak menjangkau kondisi saat ini (abad ke-21) melainkan secara khusus hingga paruh pertama tahun 1980-an.

Akademi Musik Indonesia (AMI) di Yogyakarta sejak paruh pertama tahun 80-an telah berintegrasi ke dalam Institut Seni Indonesia. Sekarang menjadi Jurusan Musik pada Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta.




Hak Cipta pada Andre Indrawan
E-mail: indrawan_andre@yahoo.com


Tentang Penulis


Andre Indrawan (lahir di Bandung 10 Mei 1961) adalah salah seorang gitaris klasik senior nasional. Saat ini selain mengajar di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, aktivitasnya antara lain adalah mengadakan resital bersama rekannya Rahmat Raharjo. Keduanya tergabung dalam Yogyakarta Guitar Duo.
Profil selengkapnya bisa dibaca di halaman artikel pada link profil gitaris klasik Indonesia.(ed.)

1 komentar:

  1. Salam kenal...mohon izinkan saya berbagi link untuk yg ingin belajar gitar secara lengkap dlm berbagai tehnik dan mendownload materi untuk pemula, blues, jazz, dalam bhs Indonesia GRATIS, silahkan klik www.gitarzoom.blogspot.com
    trimakasih

    BalasHapus

Musical Instrumen

Musical Instrumen
circle Guitar